BUNYI BAHASA DAN TATA BUNYI

BUNYI BAHASA DAN TATA BUNYI


3.1 BERBAGAI PENGERTIAN TENTANG BUNYI BAHASA


              Getaran udara yang masuk ke telinga dapat berupa bunyi atau suara. Getaran udar yang dinamakan bunyi itu dapat terjadi karena dua benda atau lebih bergeseran atau lebih berbenturan. Biola yang sedang dimainkan, dua telapak tangan yang ditepukkan, atau piring yang jatuh kelantai menimbulkan bunyi yang dapat ditangkap oleh telinga manusia. Bunyi sebagai getaran udara dapat pula merupakan hasil yang dibuat oleh alat ucap manusia seperti suara, lidah, dan bibir. Bunyi bahasa dibuat oleh manusia untuk mengungkapkan sesuatu. Bunyi bahasa dapat terwujud dalam nyanyian atau dalam tuturan.

3.1.1 Bunyi yang Dihasilkan oleh Alat Ucap Manusia


               Pada umumnya manusia berkomunikasi melalui bahasa dengan cara menulis atau berbicara. Kalau komunikasi itu dilakukan dengan tulisan, tidak ada alat ucap yang ikut terlibat di dalamnya. Sebaliknya, kalau komunikasi tersebut dilakukan secara lisan, alat ucap memegang peranan yang sangat penting.

             Dalam pembantukan bunyi bahasa ada tiga faktor utama yang terlibat yakni sumber tenaga, alàt ucap yang menimbulkan getaran, dan rongga pengubah getaran. Proses pembentukan bunyi bahasa dimulai dengan memanfaatkah pernapasan sebagai sumber tenaganya. Pada saat kita mengeluarkan napas, paru-paru kita menghembuskan tenaga yang berupa arus udara (lihat Bagan 3.1). Arus udara itu dapat mengalami perubahan pada pita suara (No. 19) yang terletak pada pangkal tenggorokan atau laring (No 20). Arus udara dari paru-paru itu dapat membuka kedua pita suara yang merapat sehingga menghasilkan ciri-ciri bunyi tertentu. Gerakan membuka dan menutup pita suara itu menyebabkan udara di sekitar pita suara itu bergetar. Perubahan bentuk saluran suara yang terdiri atas rongga faring (No 15), rongga mulut (No 16), dant rongga hidung (No 17) mnghasilkan bunyi bahasa yang berbeda-beda. Udara dan paru-paru dapat keluar melalui rongga mulut, rongga hidung, atau lewat rongga mulut dan hidung sekaligus. Bunyi bahasa yang udaranya keluar melalui mulut disebut bunyi oral; bunyi bahasa yng arus udaranya keluar dari hidung disebut bunyi sengau atau bunyi nasal. Bunyi bahasa yang arus udaranya sebagian keluar melalui mulut dan sebagian keluar dari hidung disebut bunyi yang disengaukan atau dinasalisasi.

                  Pada saat udara dari paru-paru dihembuskan, kedua pita suara dapat merapat atau merenggang. Apabila kedua pita suara itu berganti-ganti merapat dan merenggang dalam pembentukan suatu bunyi bahasa, maka bunyi bahasa yang dihasilkan terasa “berat”. Apabila pita suara direnggangkan sehingga udara tidak tersekat oleli pita suara, maka bunyi bahasa yang dihasilkan akan terasa “ringan”. Macam bunyi bahasa yang pertama itu umumnya dinamakan bunyi bersuara, sedangkan yang kedua disebut bunyi tak bersuara. Perbedaan kedua macam itu dapat dirasakan jika kita menutup kedua lubang telinga rapat-rapat sambil mengucapkan bunyi seperti [p] yang dibandingkan dengan [b]. Pada waktu kita mengucapkan [b] terasa getaran yang lebih besar di telinga. Di samping itu, pita suara bisa juga dirapatkan sehingga udara tersekat. Bunyi yang dihasilkan disebubunyi hambat glotal [?].

                  Setelah melewati rongga faring, arus udara mengalir ke bagian atas tenggorokan. Jika yang kita kehendaki adalah bunyi oral, tulang rawan yang dinamakan anak tekak atau uvula (No.9) akan menutup saluran ke rongga hidung. Dengan demikian, bunyi tersebut akan keluar melalui rongga mulut jika kita kehendaki bunyi nasal, uvula diturunkan sehingga udara keluar melalui rongga hidung. Contoh bunyi bahasa yang udaranya keluar dari rongga mulut adalah [p], [g], dan [f], sedangkan bunyi udara yang melewati rongga hidung adalah [m], dan [n].

                     Macam bunyi bahasa yang kita hasilkan juga dipengaruhi oleh ada tidaknya hambatan dalam proses pembuatannya. Pada bunyi seperti [a], [u], dan [i] udara mengalir melewati rongga mulut tanpa hambatan oleh alat ucap apa pun. Sebaliknya, pada bunyi seperti [p] udara dihambat oleh dua bibir (No. 1 dan 2) yang 1terkatup, dan pada bunyi [t] udara dihambat oleh ujung lidah (No. 10) yang bersentuhan dengan gusi atas (No. 5). Pada tempat hambatan seperti itu arus udara dari paru-paru tertahan sejenak dan kemudian dilepaskan untuk menghasilkan bunyi bahasa. Bunyi-bunyi bahasa Indonesia dalam buku ini diuraikan berdasarkan cara bunyi-bunyi tersebut dihasilkan oleh alat ucap.
Bagan 3.1 : Alat Ucap
Keterangan

1. bibir atas (labium) 2. bibir bawah (labium)
3. gigi atas (dentes) 4. gigi bawah (dèntes)
5. gusi (alveolum) 6. langit-langit keras (palatum)
7. langit-langit lunak (velum) 8. anak tekak (uvula)
9. ujung lidah 10. Daun lidah
11.depan lidah 12. tengah lidah
13. belakang lidah 14. Akar lidah
15. faring 16. Rongga mulut
17. rongga hidung 18. epiglotis
19. pita suara 20. pangkal tenggorokan (laring)
21. trakea

3.1.2 Vokal dan Konsonan


              Berdasarkan ada tidaknya rintangan terhadap arus udara dalam saluran suara, bunyi bahasa dapat dibedakan menjadi dua kelompok vokal dan konsonan. Vokal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak mengalami rintangan dan kualitasnya ditentukan oleh tiga faktor tinggi-rendahnya posisi lidah, bagian lidah yang dinaikkan, dan bentuk bibir pada pembentukan vokal itu. Pada saat vokal di ucapkan lidah dapat dinaikkan atau diturunkan bersama rahang. Bagian lidah yang dinaikkan atau diturunkan itu adalah bagian depan, tengah, atau belakang. Jika kita gambarkan dalam bentuk bagan, ragangan vokal adalah sebagai berikut :



            Di samping tinggi-rendah serta depan-belakang lidah seperti yang digambarkan di atas, kualitas vokal juga dipengaruhi oleh bentuk bibir. Untuk vokal bibir tertentu, seperti [a], bentuk bibir adalah normal, sedangkan untuk vokal [u] bibir dimajukan sedikit dan bentuknya agak bundar. Untuk bunyi sepert [i], sudut bibir direntangkan ke samping sehingga bentuk melebar. Dengan tiga faktor itu bunyi vokal dapat berciri tinggi, depan, dan bibir terentang, misalnya bunyi [i] atau tinggi, belakang, dan bibir bundar, misalnya bunyi [u].
              Bunyi konsonan dibuat dengan cara yang berbeda. Pada pelafalan konsonan, ada tiga fakor yang terlibat: keadaan pita suara, penyentuhan atau pendekatan berbagai alat ucap, dan cara alat ucap itu bersentuhan atau berdekatan. Untuk kebanyakan bahasa, pita suara selalu merapat dalam pelafala vokal. Akan tetapi pada pelafalan konsonan pita suara itu mungkin merapat, tetapi mungkin juga merenggang, seperti telah dinyatakan terdahulu. Degan kata lain süatu konsonan dapat dikategorikan sebagai konsonan yang bersuara atau yang tak bersuara misalnya, [p] dan [t] adalah konsonan yang tak bersuara, sedangkan [b] dan [d] adalah konsonan yang bersuara.

              Alat ucap yang bergerak untuk membentuk bunyi bahasa dinamakan arti kulator: bibir bawah, gigi bawah, dan lidah. Daerah yang disentuh atau didekati oleh artikulator dinamakan daerah artikulasi: bibir atas, gigi atas, gusi atas, langit-langit keras, langit-langit lunak, dan anak tekak. Bila dua bibir terkatup, daerah artikulasinya adalah bibir atas, sedangkan bibir bawah bertindak sebagai articulator. Bunyi yang dihasilkan dinamakan bilabial karena bi berarti ‘dua’ dan labial berarti ‘berkenaan dengan bibir’; contohnya, [p], [b], [m]. Jadi, bunyi konsonan dapat diperikan berdasarkan articulator dan daerah artikulasinya.

          Penanaman bunyi dilakukan dengai menyebutkan artikulator yang bekerja seperti labio- (bibir bawah), apiko- (ujung lidah), lamino- (daun lidah), dorso (belakang lidah), dan radiko- (akar lidah), diikuti oleh daerah artikulasinya: labial (bibir atas), -dental (gigi atas), alveolar (gusi), -palatal (langit-langit keras), -velar (langit-langit lunak), dan woular (anak tekak). Apabila bibir bawah bersentuhan dengan ujung gigi atas, bunyi yang dihasilkan disebut labiodental (bibir-gigi); contohnya. bunyi [f]. Bunyi yang dinamakan alveolar dibentuk dengan ujung lidah, atau daun lidah, menyentuh atau mendekati gusi; misalnya, [t], [d], dan [s]. Bunyi yang dibetuk dengan ujung lidah menyentuh atau mendekati gigi atas disebut bunyi dental contohnya, [t], [d] untuk sebagian penutur. Bunyi yang dibentuk dengan depan lidah menyentuh atau mendekati langit-langit keras disebut bunyi palatal; contohnya [c], [j], [y]. Bunyi yang dihasilkan dengan belakang lidah yang mendekati atau menemeI pada langit-langit lunak dinamakan bunyi velar; misalnya [k] dan [g]. Akhirnya, bunyi yang dihasilkan dengan pita suara dirapatkan arus udara dan paru-paru tertahan disebut bunyi glotal (hamzah). Bunyi yang memisahkan bunyi [a] pertama dan [a] kedua pada kata saat adalah contoh bunyi glotal. Untuk bunyi ini biasanya dipakai lambang [?]

               Cara articulator menyentuh atau mendekati daerah artikulasi dan bagaimana udara keluar dari mulut dinamakan cara artikulasi. Bila bibir bawah dan bibir atas terkatup rapat untuk menahan udara dan paru-paru, sementara uvula menutup saluran rongga hidung, dan kemudian katupan bibir dibuka secara tiba-tiba, maka proses itu akan menghasilkan bunyi [p] atau [b] Apabila kedua bibir tetap terkatup dan udara dikeluarkan melalui rongga hidung, terbentuklah bunyi [m]. Udara dapat juga tidak ditahan seluruhnya, tetapi sebagian dilewatkan melalui lubang yang sempit. Bunyi [f], misalnya, dibuat dengan bibir bawah bersentuhan dengan gigi atas, tetapi udara dapat keluar lewat celah yang ada. Bunyi [s] dibentuk dengan cara artikulasi yang lain, yakni dengan ujung lidah atau bagian depan daun lidah ditempeikan pada gusi sehingga udara dapat keluar melalui samping Iidah dan menimbulkan desis.

             Berdasarkan cara artikulasinya, bunyi bahasa dibagi menjadi beberapa cara. Bila udara dan paru-paru dihambat secara total, maka bunyi yang dihasilkan dengan cara artikulasi semacam ini dinamakan bunyi hambat. Bunyi [p] dan [b] adalah bunyi hambat, tetapi [m] bukan bunyi hambat karena udara mengalir lewat hidung. Apabila arus udara melalui saluran yang sempit, maka akan terdengar bunyi desis. Bunyi demikian disebut bunyi frikatif, misalnya [f] dan [s]. apabila ujung lidah bersentuhan dengan gusi dan udara keluar melalui samping lidah, maka bunyi yang dihasilkan dengan cara artikulasi seperti itu disebut bunyi lateral, misalnya [l]. kalau ujung lidah menyentuh tempat yang sama berulang-ulang, bunyi yang dihasilkan itu dinamakan bunyi getar misalnya [r].

               Selain bunyi-bunyi diatas ada bunyi yang pembentukannya seperti pembentukan vocal, tetapi tidak pernah dapat menjadi inti suku kata. Yang termasuk kategori itu adalah [w] dan [y]. cara pembentukan bunyi [w] dan [y] masing-masing mirip dengan cara pembentukan bunyi vokal [u] dan [i].
Dengan mempertimbangkan keadaan pita suara, daerah artikulasi, dan cara artikulasi, kini kita dapat memberikan konsonan secara lengkap. Bunyi [p] misalnya, adalah bunyi konsonan hambat bilabial yang tak bersuara.


3.1.3 Diftong


            Diftong adalah vokal yang berubah kualtasnya pada saat pengucapannya. Dalam system tulisan diftong biasa dilambangkan dengan dua huruf vocal. Kedua huruf vokal ini tidak dapat dipisahkan. Bunyi [aw] pada kata harimau adalah diftong sehingga grafem [au] pada suku kata –mau tidak dapat dipisahkankan menjadi ma-u. demikian pula dengan deretan huruf vokal ai pada sungai. Deretan huruf vokal itu melambangkan huruf diftong [ay] yang merupakan inti kata –ngai.

              Diftong berbeda dengan huruf vocal. Tiap-tiap vokal pada deretan vokal mendapat hembusan napas yang sama atau hamper sama; kedua suku vokal itu termasuk suku kata yang berbeda. Bunyi deretan au atau ai pada kata daun dan main , misalnya, bukanlah diftong karena baik a maupun u atau i masing-masing mendapat tekanan yang (hampir) sama dan membentuk suku kata tersendiri sehingga kata daun dan main masing-masing terdiri atas dua suku kata da-un, ma-in

3.1.4 GUGUSAN KONSONAN


             Gugusan konsonan adalah deretan dua konsonan atau lebih yang tergolong dalam satu suku kata yang sama. Bunyi [pr] pada kata praktik adalah gugus konsonan; demikian pula dengan pl pada plstik, tr pada sastra dan str pada struktur. Dengan contoh diatas jelaslah bahwa tidak semua deretan konsonan itu selalu membentuk gugusan konsonan. Dalam bahasa cukup banyak kata yang mimiliki dua konsonan yang berdampingan, tetapi belum tentu deretan dua konsonan yang bukan gugus konsonan adalah pt pada cpta, ks pada aksi dab rg pada harga.

3.1.5 Fonem dan Grafem


            Jika kita berbicara tentang vokal dan konsonan seperti yang telah kita lakukan, kita berbicara tentang bunyi bahasa yang harus dibedakan dari tulisan. Bunyi bahasa yang dihasilkan manusia bermacam-macam. Ada yang membedakan kata, ada yang tidak. Bunyi [p] pada kata pagi diucapkan tidak sama dengan [p] pada kata siap karena [p] pada siap diucapkan dengan kedua bibir tertutup, sedangkan pada kata pagi bunyi [p] ini harus dilepas untuk bergabung dengan bunyi [a]. Perbedaan pelafalan itu tidak menimbulkan perbedaan makna kata.

           Sebaliknya, jika kita membandingkan kata pagi dengan bagi kita tahu bahwa bunyi [p] dan [b] membedakan kedua kata tersebut. Demikian pula dengan pasangan minimal seperti tua-dua, kita-gita, pola-pula, dan pita-peta. Satuan bahasa terkecil berupa bunyi atau aspek bahasa bunyi yang membedakan bentuk dan makna kata dinamakan fonem. Bunyi [p] dan [b] dalam contoh diatas adalah dua fonem. Jika dua bunyi bahasa secara fonetik mirip, tetapi tidak membedakan kata, maka kedua bunyi itu disebut alofon dari fenomena yang sama. Dengan demikian, jika [p] pada kata siap, seperti dicontohkan di atas, dilafalkan dengan meregangkan katupan kedua bibir kita atau tetap mengatupkannya, maka tidak akan ada perubahan bentuk maupun makna kata.

               Fonem harus dibedakan dari grafem. Fonem merujuk kebunyi bahasa , sedangkan grafem merujuk ke huruf atau gabungan huruf sebagai satuan pelmbang fonem dalam sitem ejaan. Oleh karena fonem lazim dilambangkan dengan huruf dalam penulisannya, sering tidak tampak perbedaannya dari grafem. Kata pagi misalnya, terdiri atas empat huruf p, a, g, i. tiap-tiap huruf itu merupakan grafem , yakni [p] [a] [g] [i] dan tiap-tiap grafem itu melambangkan fonem yang berbeda yakni <p> <A> <g> <i> dan yang melambangkan fonem <s. yang melambangkan fone /m/, /a/, /n/, /i/ dan /s/. huruf p/a/b/I dan t pada kata pahit masing-masing merupakan grafem <p> <a> <h> <i> <t> dan yang melambangkan grafem /p/, /a/, /h/, /i/, /t/. akan tetapi banyak kata yang tidak memiliki kesamaan seperti itu. Meskipun grafem melambangkan fonem dalam system ejaa, ini tidak berarti bahwa satu grafem hanya bias melambangkan satu fonem atau sebaliknya. Grafem <e> misalnya, melambangkan fonem /e/ seperti pada nebtuk <bela> <rela>, dan <pena> dan pada <belah> <reda> dan <penat>

3.1.6 Fonem Segmental dan Suprasegmental


          Fonem yang berwujud bunyi seperti yang dilamangkan pada fonem diatas dinamakan fonem segmental. Fonem dapat pula tidak berwujud bunyi, tetapi merupakan aspek tambahan terthadap bunyi. Aspek tambahan terhadap unyi itu biasanya berlaku bukan hanya pada satu unsure segmental , malainkan pada satu suku kata. Oleh karena itu, tekanan, panjang bunyi, dan nada lazimdisebut cirri suprasegmental. Tekanan, panjang bunyi, dan nada dapat merupakan fone jika membedakan kata dalam suatu bahasa.

3.1.7 Suku Kata
              Suku kata adalah bagian kata yang diucapkan dalam satu hembusan napas dan umumnya terdiri atas beberapa fonem. Suku kata dalam Bahasa Indonesia selalu memiliki vokal yang enjadi inti kata. Inti tersebut dapat didahului dan diikuti oleh satu konsonan atau lebih meskipun dapat terjadi bahwa suku kata hanya terdiri atas satu vokal atau satu vokal dengan satu konsonan. Beberapa contoh kata sebagai berikut :
Pergi per-gi
Kepergian ke-per-gi-an
Ambil am-bil
Dia di-a
               Suku kata yang berakhir dengan vocal , (K) V, disebut suku buka dan kata yang berakhir dengan konsonan (K) VK, disebut suku tutup. Suku kata dibedakan berdasarkan pengucapan, sedangakan pangkal kata berdasarkan penulisan

Comments

Popular posts from this blog

Analisis unsur intrinsik puisi negaraku indonesia

CONTOH RPP K13 SMA

Biografi Plato, Plato Sebagai Filsuf